DAKWAH ADALAH TUGAS SETIAP INSAN
Allah SWT berfirman:
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui”.(Q.S. Assaba’/34: 28)
Sebagai pembawa risalah Allah, beliau ditugaskan menjadi saksi dan da’i bagi seluruh umat manusia. Dan sebagai da’i beliau bertugas memberikan kabar gembira dan peringatan, sehingga dapat menjadi cahaya yang menerangi kehidupan mereka. Allah SWT berfirman:
“ Hai nabi, Sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan,. Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi”. (Q.S. Al-Ahzab/33: 45-46)
Semenjak diangkat menjadi Rasul, sampai ajalk datang menjemput, Rasulullah SAW telah menjalankan tugasnya berdakwah menyampaikan Risalah Islam dan membimbing umat ke jalan Allah. Tugas itu diteruskan oleh para sahabat, tabi’Indonesia, tabiit-tabi’Indonesia dan generasi seterusnya sampai generasi kit sekarang ini.
Tugas dakwah adalah tugas rasul sebelumnya. Dalam hal ini Allah SWT menyatakan:
“ Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"(Q.S. Fushshilat/41: 33)
Kewajiban Berdakwah
Dakwah adalah kewajiban setiap muslim, baik individual maupun kolektif. Allah berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.(Q.S. Ali Imran/3: 104)
Jika min dalam ayat di atas (minkum) adalah min bayaniyah, maka dakwah menjadi kewajiban setiap orang (individual), tapi jika min itu adalah min tab’idhiyyah(menyatakan sebagian) maka dakwah menjadi kewajiban kolektif umat atau fardhu kifayah. Kedua perngertian itu dapat digunakan sekaligus. Untuk hal-hal yang mampu dilakukan secara individual (fardhu ‘ain), sedangkan untuk hal-hal yang bisa dilakukan secara kolektif, maka dakwah menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Setiap orang wajib berdakwah, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara pasif dalam arti diri dan kehidupannya dapat menjadi contoh hidup dari keluhuran dan keutamaan ajaran Islam.
Kewajiban setiap individu berdakwah, disamping dinyatakan oleh ayat di atas juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW. Setelah menyampaikan pesan-pesan penting dan mendasar dalam Haji Wada’, Rasulullah bersabda:
Artinya: “Maka hendaklah yang menyaksikan diantara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadi, karena boleh jadi yang hadir itu menyampaikannya kepada orang yang lebih dalam mempertahatikannya daripada sebagian yang mendengarkannya”. (H.R. Bukhari)
Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW menegaskan:
Artinya: “Sampaikanlah yang (kamu terima) dariku, walaupun satu ayat” (H.R. Bukhari)
Salah satu ayat yang dapat menyelamatkan manusia dari kerugian adalah apabila mereka mau saling mengingatkan (berdakwah) dengan kebenaran dan kesabaran. Allah berfirman:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.(Q.S. Al-Ashri: 1-3)
Sasaran Dakwah
Sasaran dakwah atau mad’u dapat dikategorikan berdasarkan beberapa faktor. Dari segi iman, mad’u dibagi menjadi dua, yang sudah beriman (disebut umat ijabah) dan yang belum beriman (disebut umat dakwah). Yang pertama dengan target meningkatkan keimanan dan keislamannya, dan kedua dengan target mengajaknya masuk Islam. Dari segi status sosial-ekonomi, mad’u terbagi menjadi kelompok elite (malak) dan kelompok lemah dan tertindas (dhu’afa’ dan mustadh’afin). Dalam sejarah dakwah yang dilakukan para Nabi, kelompok elite lebih sulit menerima dakwah dibandingkan dengan kelompok lemah. Perhatikan dalam beberapa ayat berikut ini bagaimana komentar kaum elite tatkala diajak oleh Nabi Nuh menyembah Allah SWT.
“Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (Dia berkata): "Sesungguhnya Aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu. Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan". Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta".(Q.S. Hud/11: 25-27)
Kaum elite menolak dakwah karena takut kehilangan hak-hak “istimewanya” yang didapat dengan cara-cara yang zalim (seperti Fir’aun, Qarun, Haman, Ruhban dalam kasus Nabi Musa A.S, Umayyah ibn Khalaf dan Abu Lahab dalam kasus Nabi Muhammad SAW), sedangkan kaum dhu’afa merasa senang menerima dakwah karena hak-haknya akan diperjuangkan. Namun demikian, dalam prakteknya, kelompok lemah tidak dapat segera masuk Islam karena ada hambatan dari kelompok elite dengan segala macam cara (ingat kasus Bilal, dan keluarga Yaser pada zaman Nabi Muhammad SAW). Di samping dua kategori di atas, mad’u juga dapat dibagi berdasarkan kategori jenis kelamin, umur, pendidikan dan lain sebagainya. Kategorisasi seperti itu diperlukan untuk menentukan metode dan pendekatan yang tepat sasaran.
Metode Dakwah
Salah satu faktor penentu keberhasilan dakwah adalah metode yang tepat. Rasulullah SAW sangat berhasil dalam berdakwah karena beliau dapat menyampiakan persan yang tepat kepada orang yang tepat dengan cara yang tepat pada waktu yang tepat. Dalam bahasa Al-Qur'an metode yang tepat itu adalah bil hikmah, wal-mauizhah al-hasanah seperti dalam firman Allah berikut ini:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. An-Nahl/16: 125)
Bil Hikmah, artinya bin-nash wal-‘aqli (menggunakan nash dan akal). Dakwah tetap mengacu kepada nash(Al-Qur'an dan Sunnah) tapi menggunakan akal dalam menentukan pemilihan terhadap nash mana yang akan disampaikan lebih dahulu (menyangkut tahapan dan silabi dakwah), bagaimana menyampaikannya (media dan cara yang digunakan) yang sesuai dengan kadaan sasaran dakwah.
Dalam menentukan tahapan dakwah misalnya sebagian ahli membuat lima tahapan dakwah: (1) Tahapan penyampaian pesan (marhalah tabligh); (2) Tahapan pengajaran (marhalah ta’lim); (3) Tahapan pembinaan (marhalah takwin); (4) Tahapan pengorganisasian (marhalah tanzhim); (5) Tahapan pelaksanaan (marhalah tanfizh).
Dalam tahapan-tahapan di atas dapat kita lihat bahwa tabligh adalah merupakan tahap awal dari kegiatan dakwah secara keseluruhan. Untuk dapat berhasil mengajak mad’u memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupannya masih diperlukan lagi beberapa tahap berikut setelah tabligh. Sungguh sangat keliru kalau seorang da’i menganggap tabligh adalah satu-satunya cara, atau menjadikan tabligh terlepas sama sekali dari tahapan lainnya. Oleh sebab itu kegiatan dakwah tidak dapat dilakukan secara sendirian, tapi harus bersama-sama (berjama’ah atau berorganisasi) sehingga tahapan-tahapan dakwah tersebut dapat dijalankan secara terencana dan bertahap.
Dakwah secara berjama’ah atau berorganisasi diisyaratkan juga oleh ayat berikut ini:
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".(Q.S. Yusuf/12: 108)
Sedangkan penentukan media yang digunakan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan fasilitas yang ada serta kebutuhan dan kemampuan penerimaan sasaran dakwah. Apakah akan menggunakan media tradisional (ceramah dan khutbah) atau multi media baik elektronik maupun audiovisual.
Apapun metode yang diikuti, selain mempertimbangkan efektifitas dan efesensi, tidak boleh dilupakan bahwa semua metode yang digunakan tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan nash Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam berdakwah sekalipun, tujuan tidak menghalalkan cara.
Yang dimaksud dengan al-maui’zhah hasanah adalah pelajaran yang baik. Seluruh ajaran Islam adalah maui’zhah, baik yang disebutkan secara eksplisit dalam nash Al-Qur'an dan As-Sunnah maupun yang dipahami dari kandungan maksudnya. Semua perintah, larangan, petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah maui’zhah hasanah. Tetapi, kalau pesan-pesan suci itu disampaikan dalam bahasa manusia, maka kalimat-kalimat yang digunakan, gaya bahasa yang dipakai, bahkan intonasi dan nada bicara (jika disampaikan secara lisan), haruslah dikemas dengan sebaik-baiknya, sehingga pesan-pesan itu dapat diterima dengan baik. Pelajaran yang baik kalau disampaikan dengan kalimat-kalimat dan gaya bahasa yang kasar dan menyakitkan, tentu saja tidak akan produktif, malah berakibat sebaliknya yaitu kontra produktif.
Jika dalam berdakwah harus menggunakan metode debat atau polemik, baik internal umat Islam, apalagi eksternal dengan orang-orang yang belum beragama Islam, maka lakukanlah dengan sebaik-baiknya. Al-Qur'an menyatakan, wajâdilhum billati hiya ahsan. Sasaran jidâl atau mujâdalah dalam ayati ini bersifat umum, bisa muslim (umat ijabah) dan bisa juga non muslim (umat dakwah). Siapapun yang diajak atau mengajak berdebat, berdebatlah atau berpolemiklah dengan cara yang sopan, santun, argumentatif, dan hindarilah kata-kata dan sikap yang melukai perasaan lawan debat. Carilah kelemahan argumentasi lawan debat, bukan kelemahan pribadinya. Jika yang diserang adalah kelemahan pribadi, maka mujâdalah sudah bergeser dari mencari kebenaran, menjadi mencari kemenangan. Sekalipun pribadi kita diserang oleh lawan debat, tetapi tetaplah konsisten memegang prinsip, jangan terpancing. Seorang muslim yang baik, apalagi seorang da’i, tidaklah diajarkan membalas keburukan dengan keburukan pula, tapi balaslah dengan kebikan.
Akhlaq Da’i
Sebagai pribadi yang menyampaikan ajaran yang mulia, dan mengajak orang menuju kemuliaan, tentulah seorang da’i harus memiliki al-akhlaq al-karîmah yang terlihat dalam seluruh aspek kehidupannya. Dia harus memiliki sifat-sifat mulia baik dalam kepastiannya sebagai pribadi Muslim secara umum, maupun sebagai da’i secara khusus. Seorang da’i haruslah memiliki sifat sidiq, amanah, sabar, tawadhu’, ‘adil, lemah lembut dan selalu ingin meningkatkan kualitas amal ibadahnya kepada Allah SWT dan sifat-sifat mulia lainnya.
Lebih dari pada itu, kunci utama keberhasilan dakwah seorang da’i adalah satunya kata dan perbuatan. Salah satu sebab utama keberhasilan dakwah Rasulullah SAW adalah karena perbuatan beliau selalu sejalan dengan apa yang dikatakan. Allah mengancam seorang da’i atau siapapun saja yang perbuatannya tidak sejalan dengan perkataanya, atau hanya bisa berkata tapi tidak mau berbuat.”
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S. Ash-Shaf/61: 2-3)
Seorang da’i haruslah konsisten, istiqamah di dalam jalan dakwah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW –yang tentunya juga berlaku untuk umatnya. Allah berfirman:
“Maka Karena itu Serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah[1343] sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)".(Q.S. Asy-Syura/42: 15).
Disampaikan dalam Pelatihan Nasional Instruktur Muballigh Muhammadiyah, oleh Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah